Kata-kata yang keluar dari mulutnya terasa datar saja. Tetapi kata-kata itu berisi dan penuh tenaga. Menyuntikan vitamin dan energi ke dalam pikiran saya dan kemudian menggerakan hati.
Pikiran dan hati saya –yang biasanya saling berkhianat—kemudian bergandengan tangan melesat berkelana ke tempat-tempat yang jauh, yang bahkan tidak pernah bisa di jangkau oleh fisik saya.
Kata-katanya itu kerapkali membuat (pikiran dan hati) saya –seperti Gatotkaca—naik ke ketinggian angkasa sehingga dapat melihat ruang yang lebih luas dari ruang yang sekarang ditempati oleh fisik saya. Kemudian tiba-tiba –seperti Antareja—bisa menelusup jauh ke kedalaman bumi sehingga membuat saya dapat melihat akar diri saya yang paling dalam yang tidak mungkin saya tercerabut darinya. Tidak jarang juga membuat saya seolah ada di negeri asing dan aneh –seperti kawah Candradimuka — yang membuat saya ingin cepat-cepat keluar dari situ.
Berbincang denganya , saya seperti anak kecil yang bermain bola di tengah hujan, penuh keriangan dan tidak ingin cepat selesai. Sungguh tamasya batin yang mencerahkan.
Pembicaraan kami mengalir, bertenaga, menerobos dan sampai pada bagian-bagian yang kami sendiri takjub. Nyaris tak terinterupsi.
Kami seperti sepasang penari tango yang saling mengikuti dan menyesuaikan gerakan satu sama lain. Kadang kami saling berputar dan melempar satu sama lain ke udara, tapi dalam sebuah paduan gerakan yang ritmis, seirama dan tak hilang kendali.
Saya berbicara dia mendengar. Dia berbicara saya menyimak. Tidak ada keinginan untuk saling menyela percakapan. Apalagi hanya sekedar untuk menghina dan mencemooh argumen seraya meninggikan diri sendiri. Sama sekali tidak.
Juga tidak ada basa-basi formalitas atau saling memuji yang tidak perlu yang membuat percakapan tidak pernah bisa dalam.
Kadang-kadang tawa pecah berderai-derai. Biasanya kami menertawakan kebodohan kami atau kejenakaan dari pikiran-pikiran dan gagasan kami sendiri. Tidak tentang orang lain.
Kami tidak pernah membicarakan orang lain. Dia selalu menghindar dan menolak untuk masuk ke area itu. Dia memiliki disiplin diri yang mengagumkan untuk selalu melihat sisi positif dari setiap orang, bahkan –katakanlah –yang paling bajingan sekalipun. Sesuatu yang seringkali membuat saya geregetan sendiri.
Kami berbicara tentang ide, tentang gagasan, tentang pelajaran-pelajaran dan hikmah-hikmah yang tersembunyi dari setiap peristiwa kecil dan biasa, yang kadang luput dari pengamatan orang lain.
Caranya melihat sisi positif dan menukil pelajaran berharga dari situ membuat saya selalu berdecak kagum.
Dia bukan jenis manusia yang melakukan maneuver basa-basi di tikungan yang tidak tepat dengan mengatakan “mari kita lihat sisi positifnya….”. Orang ini terlatih untuk melakukannya. Dia memang hidup dengan cara seperti itu; selalu berfikir, berkata dan bersikap positif. Bahkan dalam situasi-situasi yang sulit, ketika stay positive adalah sebuah perjuangan dan kemewahan.
Inilah percakapan yang menumbuhkan (Growth Conversation).
Percakapan biasa –yang bisa terjadi dimana saja, kapan saja dan dengan siapa saja—tetapi efektif. Meninggalkan jejak, di hati maupun pikiran, dengan tumbuhnya tunas-tunas gagasan maupun inspiriasi-inspirasi bertindak ke arah yang lebih baik.
Percakapan semacam ini selalu terjadi dan menjadi inspirasi dari setiap kemajuan. Dari mulai percakapan kuno antara Musa dengan Khidir, antara Plato dengan Aristoteles sampai percakapan di dunia modern antara Christiano Ronaldo dengan Sir Alex Fergusson atau Sule dengan Rizky Febrian.
Kita berhadapan dengan kesempatan itu setiap harinya. Karena sebagian besar waktu kita diisi dengan bercakap-cakap. Tetapi sayang beribu sayang, percakapan yang kita lakukan, alih-alih meninggalkan bekas dan menumbuhkan, yang terjadi malah sering kebalikannya; memangkas, mengerdilkan bahkan mematikan.
Kita hidup di sebuah era yang senang dengan olok-olok dan hujatan. Atau pembicaraan yang penuh dengan Me, Myself and I. Nyaris tidak ada ruang untuk orang lain dalam percakapan itu. Semuanya habis tentang diri kita sendiri.
Ini keterampilan sederhana saja. Saking sederhananya orang sering lupa atau anggap remeh.
Mereka yang cerdik dan terampil menggunakannya, kita sebut mereka punya bakat jadi pemimpin. Bukan karena mereka betul-betul hebat, tetapi lebih karena mereka mau mempraktekan keterampilan sederhana ini di tengah kesibukan dengan dirinya sendiri. Sementara mayoritas manusia terlalu sibuk dengan dirinya sendiri dan tidak sempat mikirin yang beginian.
Bill Clinton, salah satu Presiden Amerika kharismatis dan juga kontroversial, piawai menggunakan keterampilan bercakap-cakap ini. Mereka yang pernah bercakap-cakap dengannya –konon– serasa terbang ke langit ketujuh. Pertama, karena Bill Clinton akan memastikan bahwa anda seolah hanya berbicara berdua dengannya meskipun banyak sekali manusia di sekitar , kedua, dia akan memastikan bahwa anda merasa istimewa dengan gagasan-gagasan anda.
Kawan saya itu bukanlah seorang Pemimpin formal, apalagi setingkat Presiden. Dan juga bukan juga seorang motivator. Karena seringkali justru mereka-mereka yang punya titel formal itu tidak benar-benar ingin menumbuhkan orang lain dan alih-alih sibuk dengan dirinya sendiri.
Yang dibutuhkan adalah kearifan dan kematangan untuk melihat ke masa depan. Bahwa di masa depan, boleh jadi ada manusia-manusia lain yang akan lebih baik perannya bagi hidup dan kehidupan daripada anda sendiri. Kehadiran anda di dekat mereka adalah untuk memberi pupuk, menyiram air atau menyiapkan lingkungan untuk tumbuh kembangnya sendiri.
Seperti seorang Tjokro di Soerabaja di awal abad 20. Meski dia seorang terpandang pada masanya, tetapi dia tahu, bahwa anak-anak muda yang mondok di rumahnya adalah tunas-tunas yang akan tumbuh berkembang dan mengisi masa depan dengan lebih baik dari dirinya.
Dia membuka jalan bagi anak-anak muda itu. Dengan percakapan yang bergizi setiap malamnya. Dengan dialog-dialog yang mencerahkan, dengan kedalaman dan juga kerendahhatian, dengan visi akan masa depan.
Anak-anak muda itu kelak tumbuh ke arah yang berbeda-beda dan masing-masing menghiasi halaman depan buku sejarah republik ini. Satu diantaranya kemudian membacakan teks proklamasi pada tahun 1945.
Tangerang, April 2016